Minggu, 26 Oktober 2008

Aku dan Mereka Berbeda


Aku dan Mereka Berbeda

Inspirasi dari baby sitter di Mall Ciputra Semarang.

Semarang, 15 Juni 2008, 22.00 WIB.

Seminggu ini giliran jatahku dinas di Semarang, langit semarang mulai menghitam seiring mentari yang menyelinap malu-malu ke peraduannya. seorang rekan kantor menyambut hangat di Bandara, sambil memandu ke tempat parkir dan berbincang hangat, ia memberikan kunci mobil untuk operasional selama di Semarang.

Aku dan rekan Semarang berpisah di lahan parkir bandara, lantas bergegas menuju Salah satu hotel berbintang empat di wilayah simpang lima. ‘Kamar Twin beds, no smoking floor dan berada di dekat lift’ selalu menjadi pesananku setiap kali menginap di Hotel, maklum aku selalu menginap sekamar dengan atasanku sebagai mitra satu tim.

Setelah check in, menaruh barang, dan shalat, kini tiba saatnya kami mencari makan. Tak jauh lokasi yang kami pilih, mall yang bergandengan dengan hotel selalu menjadi pilihan kami makan malam di Semarang. Simple but powerful – mudah, murah, dan sekalian melampiaskan hobbi memperhatikan keragaman manusia.

Melangkahkan kaki di mall malam ini, membuat hatiku bergidik beberapa kali, bukan lantaran aura gaib Lawang Sewu* sudah pindah ke mall ini, melainkan beberapa hari ini perasaanku begitu sensitive, hatiku sangat mudah terenyuh di minggu ini. Melihat pengemis di pinggir jalan, adalah keseharian yang tak terelakkan, tapi di minggu ini sebutir air mata menetes tak terbendung dari pelupuk mataku. Saat menjenguk kakaku yang tengah dirawat di RS, kembali mengalirkan beberapa tetes airmata seraya mengingat kenanganku yang menjenguk mendiang ayahku di RS dengan masih mengenakan seragam SD. Menyaksikan pengamen cilik, kondektur tua, ibu supir busway, nenek calo terminal senen, pedagang asongan dekat kost, dan beberapa kejadian lainnya cukup membuat hatiku tersentuh dan sedih di minggu ini. Bahkan pagi sebelum aku berangkat ke Semarang, aku sempat hadir dalam acara pernikahan sepupu laki-lakiku, kurasakan aura perpisahan yang sangat dengan sepupuku yang selama ini begitu dekat denganku, lagi-lagi kutuangkan setetes air mata di pernikahannya.

Lagi, malam ini saat makan di salah satu restoran frenchise nasional, ku lihat di seberang mejaku, duduk sekelompok pengunjung dengan 4 orang dewasa, 3 orang anak kecil dan seorang remaja putri. Dilihat dari penampilan dan pola komunikasinya dapat kupastikan bahwa mereka adalah dua keluarga muda yang tengah menikmati makan malam di luar. Tak ada yang aneh dari penampilan mereka, tak cukup unik untuk menarik perhatianku yang tengah memperhatikan hilir mudik pengunjung mall dengan busana, polah, tingkah dan penampilan yang sangat beragam.

Sepuluh menit menunggu, pesanan belum juga datang, entah kenapa pandangan mataku kembali tertuju pada dua kaluarga tadi, ternyata ada seorang yang berbeda dan unik dari mereka. Semua anggota keluarga berkulit putih bersih, terawat penampilannya dan mengenakan busana trendi. Tidak demikian dengan remaja prutri yang duduk semeja dengannya,kulitnya coklat gelap, tak ber make-up dan berseragam putih kusam dengan renda merah yang biasa menghiasi celemek. -- Anda pasti mengerti bahwa ia adalah sang baby sitter yang kini tengah menggejala di lingkungan hidup para keluarga muda Indonesia. Keberadaan mereka sedemikian menggejala bak cendawan di musim penghujan.

Semangat dan antusias obrolan tak pernah surut dari setiap anggota di meja makan tersebut, keakraban sedemikian terbangun dalam setiap canda dan tawa mereka. Hal inipun menambah kontras pemandangan dihadapanku sebab sang gadis hanya termangu dengan tatapan kosong berkaca memandangi setiap pengunjung mall yang lalu lalang melewati. Pikiran gadis itu menerawang dengan sejuta bersitan rasa sedih yang sekuat tenaga dia sembunyikan, aura kesedihannya telah bisa menyeruak dan menelusup ke dasar hatiku yang ikut menabar pesona kedukaan di hatiku.

Sesekali lamunannya terusik oleh polah bocah cilik yang selalu rewel menggelayutinya, ia layani rengekan bocah cilik dengan senyum paksaan dan kesabaran yang tersisa menghadapi kemanjaan sang bocah. Ia suapi sang bocah dengan telaten padahal sang gadis terlihat lapar tanpa satu makananpun yang disiapkan untuknya. Air liur dan asam lambung mungkin sudah menganak sungai di dirinya, tak satupun anggota keluarga yang menawarkan seremah makananpun untuknya. Sang nyonya hanya bisa mengawasi dengan tetap asyik memuatkan ribuan suapan nasi ke mulutnya yang tak berhenti mengunyah.

Entah kenapa sang bocah demikian menyebalkan malam itu, dia menangis dan menuntut layanan macam-macam, lagi-lagi sang nyonya hanya bisa berujar ”kamu urus dong anakku itu dengan benar... masak sich bikin bocah diam saja kamu gak becus..!” sang nyonya kembali asyik dengan santapannya tanpa peduli bahwa sang bocah adalah anak kandungnya, dan belum sesuap nasipun ia tawarkan pada sang gadis.

Segunung ledakan atom kemarahan di diriku hampir saja tak terbendung, sungguh ingin kulabrak nyonya dan tuan yang tak berperikemanusiaan itu, ingin kulemparkan piring makanan ke muka mereka sambil kucaci maki mereka atas perlakuan diskriminasi mereka atas gadis itu. Rupanya akal sehatku masih kuasa menangkal amarah yang berlebih dariku.. ”Astaghfirullah al Azhim.. balaslah segala kejahatan dengan hikmah kebaikan.. kalau kau balas perbuatan mereka dengan kekerasan, berarti aku sama saja bahkan lebih buruk dari mereka” bathinku menenangkan luapan emosi.

Bagiku pengalaman gadis baby sitter itu adalah bagian dari pelajaran hidup yang sangat berharga, malam ini aku berjanji bahwa tidak akan berbuat demikian pada siapapun sekalipun. Terlalu banyak manusia yang berbuat nista pada sesama. Kutak ingin menambah angka statistik keangkuhan sosial di zaman ini. Cukuplah bagiku menyaksikan dunia yang penuh dengan keacuhan social, manusia banyak yang buta mata hatinya dan tuli dengan kesombongannya. Menusia begitu asyik menikmati hidup tanpa peduli realita kesengsaraan yang ada dihadapannya.

Tidak hanya pada orang tua, bahkan benih keacuhan sosial mulai berkecambah lebih dini pada jiwa remaja dan anak kecil. Masih terngiang di benakku tentang kisah seorang rekan yang menceritakan anaknya yang selalu merengek jika ingin sesuatu, apapun yang diinginkan wajib dipenuhi, dan tidak akan berhenti merengek sebelum ayahnya memenuhi keinginannya. Suatu saat, kala anaknya merengek meminta mainan yang diinginkan, ia mencoba untuk meredam, kebetulan kala itu mobil yang mereka kendarai berhenti di sebuah lampu merah yang sarat dengan pengemis termasuk pengamen cilik. “De, coba Ade liat mereka, untuk makan saja mereka susah, harus capek ngamen seperti itu, mestinya Ade bersyukur bisa makan dan sekolah dengan cukup ..” nasihat rekanku.

Itukan mereka, salah sendiri mereka miskin, aku kan berbeda dengan mereka, aku punya ayah yang bisa beliin aku mainan, jadi aku dan mereka gak sama.. pokoknya beliin mainan itu..” jawab anaknya di luar dugaan. Temankan hanya bisa mengurut dada, mencari jawab atas realita di matanya.

Aku dan kamu berbeda, kamu dan dia juga berbeda, pun dia dan kita berbeda, kita dan mereka pasti berbeda, perbedaan ada antara kita semua, tapi satu hal yang menyatukan kita.. bahwa kita adalah MANUSIA dengan semua anugerah kesempurnaan yang diberikan Allah untuk kita, maka manusiakanlah manusia, berlakukalah sebagai manusia yang dihendaki Allah sesuai amanat kemanusiaan NYA untuk kita. Wallahu A’lam.

Akhirnya dia Kembali


Akhirnya Kau Kembali*

Jakarta, 27 Agustus 2008 Pkl.21.00

By : Abdul Latief.

Bisakah anda membayangkan kebahagiaan Adam kala bersua dengan Hawa di Jabal Rahmah, setelah sebelumnya terpisahkan saat diturunkan ke Bumi?. Dapat pulakah Anda merasakan kebahagiaan Nuh dan pengikutnya saat menemukan daratan setelah sekian lama berlayar dengan bahteranya di atas genangan air bah? Atau mampukah Anda menangkap Isyarat kebahagiaan Yusuf dipersatukan Allah bersama Julaikha setelah sekian lama mendapat ujian cinta?

Tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain pertemuan dengan sesuatu yang kita harapkan. Begitu pulalah yang kurasakan di minggu ini, mengalami beberapa kebahagiaan akibat pertemuan yang mengejutkan dengan sesuatu yang kudamba selama ini. Gerangan apa yang ingin kutemui akhir-akhir ini?

Di awal pekan ini, sepotong SMS menyeruak ke dalam HP-ku ”Alhamdulillah acara lamaran Ika & Topan berjalan dengan sukses, Insya Allah akad nikah dan resepsi tanggal ...... doakan semoga semuanya lancar, dan lo harus datang ya..” Tak kutunggu lama, langsung kusambar HP CDMA-ku dan mengucapkan selamat atas rencana pernikahan sahabatku ini. Berakhir sudah hujan air mata dan derai harapan yang kerap tertuang darinya untuk sampai pada tahap ini. Kalau saja seluruh nyamuk di kamarku ini dapat kukirim padamu, akan kuperintahkan mereka menghisap manisnya kebahagiaanmu di malam ini, agar dapat menambah manis kebahagiaanku mendengar kabar gembira ini. Pun demikian, untuk sesaat ini tak kurasakan gatal gigitan nyamuk yang tengah berdamai atas nama kebahagiaanmu sahabatku.

Kemarin, di tengah aktifitas menyusun evaluasi trainingku di Palembang, tiba-tiba meluncur sebuah Email ke inbox PC-ku, surat elektronik bertajuk ”Syukur Seperempat Abad” menyegarkan mataku yang sedari tadi menuntut untuk dipejamkan sesaat. Hatiku bersorak gembira, sambil mengucap dalam hati ”selamat Ulang tahun bro, semoga cita mu tercapai” dalam hati aku tersenyum bangga bahwa tradisi merenung dan menulisku terutama di saat ultah, ternyata juga diwarisi oleh sahabatku Edi Hudiata yang selama ini kudambakan bertemu dengannya lewat media tulis ini. Maklum, semenjak dia menapakan kaki di bumi pertiwi ini, kreatifitasnya seakan dikebiri oleh kemandekan negeriku. Inilah harta karun kreatifitas yang kembali kutemukan dari sahabatku. ”Bro, aku bahagia akan ini, semoga tidak hanya di hari jadimu,tapi kau tetap berbahagia selalu

Hal lain yang turut melengkapi bunga kehagiaan di taman hatiku adalah munculnya sesosok tubuh kurus di ujung pintu air delapan di belahan kali Sunter. Dia masih tergolek duduk menunduk, punggungnya tersandar pada pinggiran beton pintu air dengan bahu melengkung busur ke arah bawah, tanganya terkulai lemah di paha sambil memamerkan telapak kumal yang terbuka. Aku masih di seberang pintu air, gambaran dirinya masih berupa siluet, tapi aku yakin bahwa itu memang dia.

Dari seberang pintu air, hatiku mulai memekik gembira, kupercepat langkahku menuju ke arahnya, alunan musik di MP4-ku makin gemerlap menyambut pesta kebahagiaan bertemu dengan sosok yang amat kudamba kabarnya. Deru laju motor, lalu lalang pejalan kaki, bau sampah menyengat, dan gumpalan lalat di sekitar kali sunter tak sedikitpun kugubris, semakin kupacu dapur langkahku sampai pada torsi maksimal, sambil tanganku merogoh kantong bajuku mencari selembar uang sekenanya.

Langkah demi langkah semakin mendekatkanku padanya dan jelaslah bahwa, ”Itu memang kau, Pendekar Kali Sunter..!”. Segala upaya kulakukan untuk meredam resonansi kegembiraan hatiku, ingin kepeluk dan kudekap erat tubuh kumalnya sebagai ekspresi bahagiaku, tapi niat itu kandas. Aku hanya tersenyum padanya dengan senyuman termanis yang pernah kubuat, kubungkukan diri menaruh selembar uang di tangannya. Dia tak membalas senyumku, yang kuterima hanya wajah tanpa ekspresi dan segaris kerut di keningnya, aku tidak tersinggung atas reaksi hambarnya, mungkin sudah terlalu lama ia tidak mendapat senyum dari para pelintas di kali sunter dan orang disekitarnya.

Aroma kebahagiaan masih semerbak di hatiku, bau keringat kondektur Metro Mini 07 yang kutumpangi tak sedikitpun mengurangi kadar bahagiaku. ”Kenapa Kau merasa bahagia? Apakah kau bahagia dia kembali mengemis? Ataukah kau bahagia atas penderitaannya di bantaran kali itu?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan menyeruak dihatiku bak sambaran petir di siang bolong. Aku tak lagi tersenyum, keningku berkerut, dan hatiku mulai miris. Di kursi metro mini yang keras, aku membolak-balik labirin logika mencari jawab atas pertanyaan besar ini.

Mengemis memang bukan pekerjaan terhormat, bahkan dianjurkan untuk tidak dilakukan. Apa yang dijalani oleh pengemis itu memang bukan hal yang menyenangkan, tak seorangpun yang ingin menjalani kehidupan seperti itu, termasuk dirinya. Kalaupun aku bahagia melihatnya, bukan berarti aku tertawa di atas penderitaannya, melainkan aku bahagia karena dia masih hidup dan diberikan kesempatan untuk memanfaatkan sisa hidupnya. Bagiku, keberadaanya adalah bagian dari isyarat Tuhan untuk selalu bersyukur atas limpahan nikmat yang diberikan-Nya padaku. Aku juga diberikan kesempatan untuk menyisihkan rezeki dan berusaha meringankan beban bagi orang yang membutuhkan.” renungku dalam hati.

”Maafkan aku wahay Pendekar Kali Sunter, aku belum bisa melakukan banyak hal untukmu, uluran tanganku baru sebatas receh, itupun tidak rutin kesisihkan untukmu, tapi aku akan selalu sisihkan senyum padamu sebagai sedekah lain yang menguatkanmu. Kukan selipkan doa agar kita selalu tabah menjalani hidup. Bukan hanya kau yang sedang diuji, tapi aku, dan kita semua sedang menjalani sebuah ujian, semoga saja kita lulus ujian ini, selagi kita masih diberi kesempatan. Akhirnya kau kembali pendekarku, Selamat Datang di istanamu, semoga kita diberikan istana yang lebih indah di sisi Allah Kelak”

-- Ya ayyatuhannafsu al mutha’innah, irji’i ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah.. --

* Ini adalah tulisan ketiga dari Trilogi tentang lelaki pengemis di Pinggir kali Sunter, untuk lebih tahu tentang cerita ini, baca juga tulisanku sebelumnya bertajuk “Pendekar kali sunter” dan “Hilangnya Pendekar kali Sunter”.

Kamis, 27 Maret 2008

Hilangnya Pendekar Kali Sunter


Hilangnya Pendekar Kali Sunter

My Diary, 5 Maret 2008

Masih ingat tulisanku tentang Pendekar Kali Sunter? 30oktober 2007 yang lalu, Pendekar Kali Sunter (PKS) ini pernah singgah dalam rangkaian tulisan di diaryku. – untuk mengingat, kunjungi www.latief15610.multiply.com .

Pendekar Kali Sunter adalah satu dari puluhan ribu pengais nasib yang menggantungkan hidup melalui belas kasih orang. Tak banyak yang mereka harap melalui upaya ini, jangankan untuk menumpuk kekayaan, sekedar ganjal perutpun seringkali kurang. Tapi itu tak mematahkan semangatnya, di ‘altar pertapaannya’ berupa tanah tak beratap, di mulut pintu air delapan bantaran kali sunter, ia tetap loyal pada profesinya. Loyalitas sejati bagi para pekerja sepertinya.

Profesi? Pekerja? Ya, boleh saja orang mencibir atau risih dengan keberadaan mereka, tapi kita jangan menutup mata bahwa keberadaan mereka bukan tanpa kesengajaan. Bahkan menurut pandangan saya, mereka diciptakan melalui proses cultural dan structural dalam masyarakat kita.

Secara cultural, keberadaan mereka diciptakan oleh budaya feudal yang menuntut orang untuk memupuk kekayaan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan kondisi sekitarnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kekayaan akan membuat orang tersebut semakin berkuasa dan dihormati, dengan kemikian, semakin banyak kekayaan yang diambil bisa menciptakan orang yang berada di bawahnya menghormati, meminta, memelas bahkan menjilat. Budaya, memberi saat di mohon, dan tidak memberi sebelum di sanjung adalah salah satu budaya kemiskinan yang diwarisi oleh “Pekerja Belas Kasih” (PBK) – Pelacur saja disebut sebagai Pekerja Seks Komersial, maka Pengemis saya sebut Pekerja Belas Kasih.

Pengaruh cultural lainnya adalah, adanya kepercayaan masyarakat yang dimanfaatkan oleh Pekerja Belas Kasih ini. Kepercayaan itu adalah harapan akan memperoleh berkah jika memberi pada PBK dan akan ‘kualat’ jika menolak memberi pada mereka. Dan sebaliknya, bagi PBK mereka menganggap mereka adalah bagian dari sarana bagi para dermawan untuk menyalurkan sebagian kelebihan rizki mereka. Walaupun tak jarang mereka yang diberi bukanlah orang yang berhak untuk diberi, bahkan tak pantas untuk diberi. Tapi dikarenakan sudah melebur menjadi kepercayaan, maka tak ada rasa bersalah dari yang ‘memanfaatkan’ dan yang ‘termanfaatkan’ pun tak merasa rugi. Salahkah ini? Rasanya tak salah, hanya perlu diluruskan agar tak menyimpang.. Lho…???????

Meminjam istilah Petter F Drucker, yang lebih berbahaya dari kemiskinan adalah munculnya budaya kemiskinan. Kalau kemiskinan hanya menjangkiti orang miskin dan tidak semua orang miskin melakukan Budaya kemiskinan, malahan budaya kemiskinan ini seringkali menghinggapi mereka yang memiliki harta melimpah. Rasa tidak puas dengan yang dimiliki, haus akan harta, culas, menipu, merampas harta yang bukan haknya, suap-menyuap, dan membohongi orang lain adalah bagian yang paling berbahaya dalam budaya kemiskinan, bahkan lebih berbahaya ketimbang mereka yang menengadahkan tangan di pinggir jalan karena tak tahu harus bagaimana mengisi perut mereka yang meronta.

Lalu bagaimana dengan penciptaan PBK secara structural? Ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja adalah factor utama. Banyak dari mereka yang mempunyai semangat bekerja, tapi tak mampu terserap dalam lapangan kerja sehingga putus asa sehingga memilih profesi sebagai PBK. Lho, bukankah ketidak terserapan mereka dalam kerja bisa diakibatkan kemampuannya yang minim atau ketidak mampuan mereka untuk bersaing? Kalau begitu satu lagi masalah structural adalah ketidakmampuan pemerintah menciptakan pendidikan yang baik dan ketakberdayaan mencetak generasi bangsa yang mampu bekerja dan bersaing.

Penyebab structural lainnya adalah karena kurangnya pemerataan pembangunan di negeri ini. Tingkat pembangunan kota yang pesat tidak diimbangi dengan laju pembangunan di desa, memicu tingkat urbanisasi yang tinggi. Masalahnya, masyarakat sub urban yang mengadu nasib di daerah urban tidak bisa bersaing dengan mereka yang lebih unggul atau daya kreatifitas menciptakan lapangan kerja yang minim menyebabkan penambahan angka statistik PBK.

Sesungguhnya masih banyak lagi penyebab structural yang ada, tetapi biarlah itu menjadi urusan dinas social, dinas tenaga kerja, dan seluruh jajaran pemerintah yang memang digaji untuk mengentaskan semua masalah tersebut.

Daya dorong yang mempengaruhi menulis ini adalah rasa kehilangan yang sangat pada beberapa minggu ini. Kehilangan atas Sang Pendekar Kali Sunter. Terbilang 3 minggu ini tak lagi bisa kutatap wajah sendu PKS, uluran tangan kurusnya, balutan aroma baju kumalnya, dan ekspresi penuh harapnya.

Pelataran pintu air delapan terasa sepi tanpanya, setelah satu setengah tahun PKS menjadi gerbang pintu air delapan, kini yang tersisa hanyalah tumpukan sampah yang menjamur di bekas tempatnya bersimpuh.

Ingin ku tanyakan pada tukang ojek di pangkalan pintu air, apakah mereka akan peduli? Kuingin tanya pada tukang nasi di seberang kali, mungkin mereka malah bersyukur tak mendapat lagi uang kumal dari tangannya yang penuh kuman. Kuingin tanya pada pejalan kaki yang lewat, kurasa mereka pun senang tak ada yang mengganggu kenyamanan mereka lagi.

Haruskah kutanya pada kecoa di belahan tanah tempatnya duduk? Ataukah dia sedang bermain bersama tumpukan sampah yang menyumbat bibir pintu air? Yang kulihat kini hanya rumput hijau yang semakin tumbuh segar di bekas pelatarannya dulu. Akankah dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar menjadi Pekerja Belas Kasih? Ataukah ia kecewa dengan penyambutan ibu kota sehingga kini ia pulang kampong? Mungkinkah Tuhan terlalu saying padanya sehingga menjemputnya di awal-awal usia?

Mhm… aku tak berani lagi melanjutkan pertanyaan itu, seandainya ia pulang kampung semoga ia mendapatkan kehidupan lebih baik di kampungnya, kalaupun dia bekerja di tempat lain, semoga pekerjaannya lebih bermartabat dan mengangkat harkatnya, kalaupun dia – maaf – meninggal, semoga Allah mencatat setiap amal baiknya dan mengampuni amal buruknya, serta panggilan yang ditujukan untuknya adalah panggilan-Nya untuk para kekasih-NYA.

“yaa ayyatuha ann nafsul muthma’innah irji’ii ila robbiki rodhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jannati..” semoga seruan ini yang didengarnya, itupun jika dia dipanggil menghadap-NYA. Sampai jumpa Wahay Pendeka Kali Sunter.

Bebanmukah yang terberat?


Bebanmukah yang terberat..?

“Dunia adalah tempat segala macam cobaan”. Semua manusia pasti pernah mengalami kesulitan dan cobaan. Cobaan selalu datang pada siapapun tak mengenal warna kulit, ras, suku, ataupun golongan, semuanya tak pernah luput dari cobaan.

Cobaan datang dalam bentuk yang berbeda. Ada yang datang dalam bentuk ketakutan, kelaparan, kekurang harta, bahkan kelebihan harta dan jabatanpun adalah salah satu bentuk dari ujian. Jadi cobaan bukan hanya berupa keburukan saja melainkan juga berupa kebaikan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar – benarnya)”(QS: 21:35).

Manusia terkadang menganggap dirinya tidak kuat menghadapi cobaan hidup ini, bahkan banyak yang menganggap bahwa bebannyalah yang terberat. padahal Cobaan yang datang kepada manusia tidak mungkin melebihi kemampuan dirinya. Seperti firman Allah: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS: 2 : 286).

Orang yang menganggap bahwa cobaanyalah yang terberat adalah layaknya keledai yang selalu menganggap beban yang ada dipunggungnyalah yang terberat. Dan kita sebagai makhluk yang diberi kesempurnaan berupa akal, jangan sampai kita memposisikan diri sebagai keledai. Sebab seekor keledai biasa di analogikan orang sebagai orang yang bodoh dan dungu. Bahkan orang yang bodoh (tidak mau mengkaji dan mengamalkan ayat – ayat-Nya.) digambarkan dalam Al – Quran (QS: 62;5) sebagai keledai yang membawa kitab di punggungnya – sebab keledai itu hanya menanggung beratnya tanpa bisa mengambil hikmah dari kitab itu -.

Masihkah kita merasa beban kita yang terberat? Setiap kejadian mengandung hikmah dan hanya keledailah (orang bodoh) yang tidak bisa mengambil hikmah dalam setiap kejadian. Yakinlah bahwa setiap kejadian akan ‘memperhalus’ diri kita kalau kita bisa menjadikannya sebagai hikmah bukan sebagai beban. Dan jangan pernah menilai keadilan Allah melalui kaca mata yang berlensakan nafsu dan su’uzhan. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan semua yang terbaik, hanya bisakah kita ikhlas menerimanya? Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang sabar. Allahu A’lam.

Belajar dari Air

Belajar dari Air.

75% bumi kita diliputi oleh air, sepertiga tubuh kita diisi oleh air. Dan seluruh aktifitas hidup kita tak luput dari peran serta air. Dari mulai mandi, memasak, minum, buang air besar, bercocok tanam, kegiatan lainnya yang membutuhkan air.

Air sangat berguna bagi manusia namun juga dibalik kemulti gunanya, ternyata air menyimpan potensi besar untuk memusnahkan. Betapa tidak, ketiadaan air dapat membuat orang susah dan menderita, sedangkan keberadaannya yang berlebihan ternyata juga bisa menyebabkan kesengsaraan seperti banjir.

Air juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah. Banyak peristiwa besar yang telah diukir oleh air. Sebutlah air bah yang menggelamkan kaum Nabi Nuh, air laut yang menggelamkan Fir’aun, atau dilemparnya nabi Yunus kedalam air. Dan bisa jadi melalui siklus airnya, membuat kita meminum air yang dulu menenggelamkan Fir’aun, atau air yang pernah jadi tumpuan bahtera nabi Nuh.

Selain hal diatas, ternyata banyak juga hikmah yang dapat kita petik dari keberadaan air di bumi ini. Air selalu mengikuti bentuk wadahnya serta mengisinya. namun, kadar dan kandungan air itu sendiri tidak pernah berubah. Hal itu mengisyaratkan keistiqomahan air dan kefleksibelan air dalam beradaptasi. Betapa tidak dimanapun kita berada kita harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup kita dan dapat berinteraksi di dalamnya Tapi, kita juga selalu dituntut untuk selalu memegang identitas kita sebagai seorang muslim. Bahkan lebih jauh dari itu kita dituntut untuk bisa mengisi lingkungan kita dengan nilai keislaman.

Keberadaan air adalah sebagai Isyarat bagi kita atas nikmat, ujian, dan hukuman. Keberadaan air adalah nikmat, namun juga ujian apakah kita bisa mensyukuri nikmati itu. Bahaya dari air adalah ujian bagi orang beriman, namun juga hukuman bagi orang kafir.

Siklus air adalah simbol kesabaran atas consensus alam. Air tidak pernah mengeluh ketika dipanaskan, ketika didinginkan ia juga tak pernah marah, malah dengan kedua hal tersebut ia juga masih bisa memberikan manfaat bagi orang yang membutuhkan. Ia siap menjadi asin, manis, keruh, kotor atau bentuk apapun yang alam inginkan, tapi ketika saatnya ia harus menguap dan naik keangkasa ia akan menunjukkan wujud aslinya yang bening dan suci. Begitu pula diri kita, tak peduli apakah berkulit putih, kuning, coklat hitam, berwajah cantik, tampan, atau buruk rupa, kita harus dapat menunjukkan kesucian diri kita ketika menghadap Allah. Karena Allah melihat pada hakikat (yang terletak pada hati) bukan pada bentuk fisik.

Masih banyak lagi hikmah air yang belum terkuak oleh kita, begitu juga dari hamparan air dan langit yang selalu menunggu untuk di terjemahkan hikmahnya sebagai penguat keimanan kita. Bukanlah Allah pernah berfirman : “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu. (QS. Al Alaq 1-2). Allahu A’lam.

Pendekar Kali Sunter


Pendekar Kali Sunter

My Diary : 30 oktober 2007

Dia masih saja duduk di tepian kali sunter yang airnya hitam dan berbau tak sedap, setiap pergi dan pulang kerja di pagi dan sore hari aku selalu melintasinya, seorang pria dengan baju lusuh, berperawakan kurus, berpenampilan kumal dan dengan sorot mata kosong tanpa kobaran semangat. Satu-satunya yang tersisa adalah pancaran sinar mata yang redup dan tengadah tangan memelas pada setiap pelintas jembatan pintu air kali sunter.

‘Pendekar kali Sunter’ begitu julukanku padanya, kusebut demikian bukan karena dia jago silat atau sakti, bukan juga karena dia pembela kebenaran dan mengusai belantara dunia persilatan, tapi semata karena aku tak pernah mengenal namanya, dan sepertinya dalam jangka waktu lama aku tak akan mengenal namanya, karena aku masih menikmati pengamatan dari sudut pandangku saat ini atau bisa jadi karena aku masih enggan berbincang dengannya, suatu saat nanti mungkin.

Masih dengan Julukan pendekar kali sunter, seringkali aku merasa dia cocok menerima julukan itu, betapa tidak, dia sangat tegar dan konsisten duduk tepian kali sunter yang penuh lalat, bau, kumuh dan tidak nyaman. Pagi buta sebelum saya beranjak ke kantor dia sudah ‘mangkal’ memperjuangkan sesuap nasi yang seakan menjadi haknya dari orang yang lewat. Sore menjelang menjelang rembulan mengantar mata terlelap barulah dia bergeser ke peraduannya yang sampai sekarang belum saya ketahui lokasinya, perkiraan saya berada di sekitar bataran kali sunter juga. Terik mentari yang menyengat selalu menjadi saksi ketegarannya, saat hujan mendera dia menghindari hujaman airnya dengan tetap tidak meninggalkan pendopo, pernah beberapa kali aku melihatnya makan sore – karena sepertinya makan sore ini sekaligus dijadikan dinner hari itu, menunya jauh dari kesan mewah bahkan pola makannya yang jorok membuat orang bergidik dan menolak menerimanya. Adakah yang lebih sakti dari nya..?

Pendekar yang biasanya sebutan bagi mereka yang memiliki Integritas, ketegaran, konsistensi dan jiwa pantang menyerah, sepertinya sudah sangat dijiwai oleh pendekarku itu. Menurut pengamatanku, orang yang melintas di hadapannya setiap hari adalah mereka yang memang menjadi langganan melintas di pintu air kali sunter ini, kalaupun ada pelintas baru pastinya mereka tidak terlalu peduli dan menganggap sang pendekar hanyalah bagian dari ribuan pendekar jalanan lain yang kerap ditemukan di Jakarta dan hampir setiap kota Indonesia. Kendatipun dengan kondisi pelintas yang hampir sama setiap harinya, tak pernah menyurutkan air mukanya untuk memelas pada setiap pelintas yang lewat, tak jarang dari mereka yang membuang muka, menutup hidung, menjauh, bahkan mayoritas tak menoleh sama sekali padanya, tetap saja dia berjuang menjaga pendoponya. Seakan ia menjaga sumpah ksatria untuk menjaga integritas dan kesetiaannya pada nasib yang menimpa dirinya.. adakah yang lebih konsisten darinya?

Tak sering aku menyisihkan receh di sakuku, malah lebih sering aku bersikap acuh seperti pelintas yang lainya. Tapi dia tetap saja tak menaruh dendam padaku walaupun aku yakin kalau saja dia kesal padaku, tentunya dia akan sangat hapal wajah di tingkah karena aku selalu melintas di hadapannya. Adakah yang lebih baik hati darinya?

ah.. Cuma receh…!”, “kok Cuma sedikit sich..”, “pelit lo...!” dan kata-kata cemooh lainnya tak pernah aku dengar melantun dari bibirnya, bahkan kesan malalui raut mukanya pun tak menyiratkan hal itu, sepertinya rasa syukur selalu bersenandung di setiap tarikan napas, guratan muka, dan alunan gerak tubuhnya, adakah yang lebih teduh dari jiwanya???

Berapa usianya?? Dia masih muda kok, perkiraanku usianya kurang dari 30 tahun, bahkan dari perawakannya mungkin sekitar 23-25 tahunan. Badannya terlihat sehat, walau cara berjalannya sedikit pincang – si pendekar Pincang dari kali Sunter, he he itu tambahan julukan dari kelakar nakal ku saja. Asal dari mana? MENEKETEHE.... – mana kutahu, ya sementara ini anggap aja dia dari kali sunter. orangtuanya? Mungkin dia sebatang kara, hanya nyamuk dan katak di pinggir sungai yang mungkin tahu sebab mereka sudah berteman dengannya lebih lama dariku. Sekolahnya? Setahuku ‘pengalaman’ adalah gurunya selama ini. Menurut anda, wajarkah dia mengemis??

Menurut temanku, apapun alasannya tak pantas seseorang mengemis, kecuali bagi mereka yang malas, putus asa, dan menyerah pada nasib. Andai saja dia mau sedikit berjuang, bisa saja dia meminjam gitar bekas dan mulai belajar memainkannya untuk dijadikan media pencahariannya, setidaknya orang tidak memberi karena kasihan melainkan penghargaan atas usahanya. Kalaupun tak punya modal, dia bisa mengumpulkan tutup botol bekas yang dipipihkan kemudian menjadikannya alat musik yang tidak butuh keterampilan khusus, itupun dapat menaikan harkatnya sebagai manusia. Atau bisa juga dia membeli seperangkat alat semir kemudian menjadikannya modal untuk usaha yang juga menaikan nilainya di mata orang. Usul yang brilian, tapi apakah orang seperti dia mau berupaya sejauh itu? Bukahkah selama ini dia sangat menikmati dunianya – comfortzone , para motivator bilang -- ? Mestinya pendekar seperti dia mau untuk melakukan upaya itu, itupun kalau dia memang pendekar sejati, kalau dia masih ingin menjadi pendekar kelas teri, maka nikmatilah hal tersebut sampai ajal menjemputmu, atau sampai orang sadar untuk menyadarkannya.. tugas siapakah itu? Tentunya tugasku untuk menyadarkannya, lalu sadarkah aku untuk menyadarkannya dan menyadarkan pendekar-pendekar sepertinya..? kalau sudah demikian, maka jadilah diriku pendekar sejati, jika ternyata tidak demikian, maka tanggunglah olehmu dampak tingkah laku para pendekar seperti nya.. lebih kejamnya. Bisakah aku menjadi pendekar atau hanya pecundang..?

Perjalanan


Perjalanan

Awalnya aku tiada

Kemudian ditaqdirkan dan diragukan

Di dalam rahim ibunda

Ku dibentuk dan dijiwai

Awalnya aku tiada

kemudian dilahirkan dan menangis

Di bawah naungan ibunda

Ku dibuai dan disusui

Awalnya aku tiada

Kemudian Merangkak dan berlari

Bermain di alam ilusi

Ku berlajar dan bermain.

Awalnya aku tiada,

Kemudian berpikir dan berhati

Bersama pualam mimpi

Ku dicinta dan mencintai

Awalnya aku tiada

Kemudian bicara dan berdebat

Bertarung di alam nyata

Mengerjar semua harapan diri.

Awalnya aku tiada

Kemudian berusaha dan berkuasa

Berbaur dalam kancah politik

Kurasa samar hitam dan putih

Awalnya aku tiada

Kemudian keriput dan bungkuk

Beristirahat dimasa tua

Bertaubat dan menyesali diri

Awalnya aku tiada

Kemudian ada dan diratapi

Bertengger dihimpit liang lahat

Aku kembali tiada.